Pembelaan

Suatu senja di warung kopi.

Sofa besar ini terasa begitu kecil, di dalamnya aku yang sesak oleh kalimat tanyamu.
Kamu terus mencecarkan pertanyaan yang lebih seperti tombak para pejuang.
Pembicaraan tentang masa yang telah lewat selalu menimbulkan ketakutan tersendiri-- karena dia yang lain membuatmu cemburu.
Aku tidak bermaksud mengoyak hatimu. Tidak pernah terpikirkan.
Kamu masih mengolah kisah, menyusun puzzle yang selama ini kau simpan.
Aku tidak pernah mengetahui bagian mana yang kamu dengar.
Karena apa yang kamu dengar telah mengalami distorsi dari berbagai arah.

Aku mendengarkan setiap kalimat hingga tanda tanya terakhir kau bubuhkan.
Sembari menyusun kata untuk melegakan kehausan fakta pada dirimu.
Bukan lagi membaca, aku mengeja.
Ini kisah tentang kita yang terjamah orang ketiga.
Orang ini datang ketika kamu pergi, bukan salahku, bukan?
Seharusnya kamu bisa menjawab ini dalam hatimu.
Aku tidak menyalahkanmu karena dari kacamataku kamu adalah maha benar.

Kamu remuk. Aku tau.

Matamu memandang kosong entah kedepan entah kebelakang.
Bibirmu bergetar mendebatku.
Kamu tidak suka hatiku mendua. Aku tidak menduakanmu sanggahku.
Bagiku kamu satu-satunya dan tidak bisa terganti kataku.
Kamu diam.
Di dalam sana aku tau, otakmu sedang mencari pencerahan.
Aku menunggumu menggugat, mengajukan mosi tidak percaya.

Hening. Kamu bersihkan jejak pada meja yang akan kita tinggalkan.

Sore ini belum berakhir, kataku di dalam hati.

Comments

Popular Posts